Tau gak, dari awal aku
liat kamu, sebenernya aku udah ada feel ke kamu…”
Aku yang mendengarnya
hanya diam.
“Semakin lama tahu
kamu, aku makin yakin kalo aku udah suka dan cinta kamu dari pandangan pertama”
Aku masih diam memainkan
rambutku sambil menundukkan kepala seolah mencoba mencari sesuatu di tanah.
“ Kamu kok diem sih?”
“First sight love
maksudmu?” Aku mencoba datar saat itu, walau bibirku agak kelu saat
mengatakannya.
Kamu mengangguk lalu
menatap mataku tajam, “Kamu gimana? Dari awal, udah ada feel gak ke aku.”
Aku menelan ludah.
Pahit. Mencoba mencari kalimat yang sekiranya tak akan membuat dia kecewa. Ah,
percuma. Kupandang balik matanya, lalu aku mencoba tersenyum. Sesaat sebelum
dia membalas senyumanku dan salah sangka, akhirnya aku menggeleng.
“Maaf, tapi aku
enggak.”
***
Itu
sedikit cerita tentang kalimat dan pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh
mantan-mantan pacarku yang baru 3 *eh. Aku sebel banget deh kalo sudah terjebak
dalam percakapan menjemukan itu. Aku cuma bisa diam dan bilang enggak buat
nanggepinnya. Abis gimana lagi? Abisnya emang enggak sih. First sight love? Oh
my god… please deh, menurutku, mana ada orang liat doang langsung suka,
langsung cinta. Bagiku denger kata-kata itu tuh berasa cuma gombalan belaka. Kalo
aku sih lebih cenderung suka karena nyaman, karena biasa, butuh waktu, kayak
pepatah jawa itu tuh, “Tresna jalaran saka kulina”. Kayaknya itu lebih riil dan
logis deh buat nentuin perasaan kita. Ya bukannya gak percaya sih sama jenis
cinta yang udah beken dan mainstream satu itu, tapi kalo emang ada kenapa aku
gak pernah ngerasainnya? Aku rasa belum ada satupun sosok yang menyentuh hatiku
dengan matanya.
Hingga
suatu hari, aku merasa perlu menguras otak, hati, terlebih logika, karena untuk
pertama kalinya, aku benar-benar mengalami itu semua.
***
Suatu
hari aku baru saja menyelesaikan daftar ulang di suatu universitas. Haha,
bangganya akhirnya jadi anak kuliahan juga. Aku segera menuju sepeda motor yang
kuletakkan di halaman depan aula pendaftaran. Seketika itu juga aku shock,
mendapati sepeda motorku terjebak di antara banyak sepeda motor lain yang
saling menghalangi satu sama lain. Semrawut banget. Kesal juga kenapa gak ada
pak parkir atau relawan yang ngatur biar tuh kendaraan parkirnya rapi. Tau gitu
kan, aku tadi parkir di tempat parkir ‘asli’, walau agak jauh dari tempat itu.
Kalo begini, gimana aku ngeluarin sepedanya coba. Mana mungkin aku nungguin
ratusan calon mahasiswa-mahasiswa lain yang belum selesai daftar ulang
mengambil motornya satu persatu, hingga sepeda motorku bisa terbebas dari sana.
Tiba-tiba,
seorang cowok berpostur tegap dan lebih tinggi dariku menghampiri. Dari
tampangnya, aku rasa dia mahasiswa baru juga.
“Mau
ngeluarin sepeda motor ya? Sini kunci motornya...biar aku bantuin.”
Dia
tersenyum. Aku gelagapan. Gugup seketika. Aku baru menyadari kalo cowok di
depanku ini cool banget, ganteng, terus lesung pipitnya di senyumnya itu tuh
bikin hatiku aneh gak karuan. Okey, stay
calm firda… don’t be panic. Ini pasti cuma kagum aja.
Aku
yang merasa keadaan di sekitarku cukup ramai dan tidak memungkinkannya untuk
berbuat kejahatan secara terang-terangan, akhirnya mempercayakan kunci motorku
kepada cowok asing itu. Dengan sigap, dia menggeser sepeda-sepeda lain lalu
menuntun sepedaku keluar dari ‘penjara’ memuakkan itu.
“Nih
motornya, makanya lain kali lebih baik kamu parkirin di tempat parkir sana aja.
Sini emang bukan tempat parkir. Kasian banget aku pas ngeliat kamu dari jauh
kayak frustasi gitu pas ngelihat lautan sepeda motor ini.” Dia tertawa.
OMG…cowok
cool plus baik ini ternyata memperhatikanku. Ah, dia kayaknya sopan dan orang
baik-baik deh.
“Aku
Ferdi anak Matematika semester 5” Cowok
itu mengulurkan tangannya. Ternyata dia kakak tingkat. Dan entah kebetulan atau
tidak, jurusannya sama persis denganku.
“Oh…
saya Firda, Kak. Maba Matematika.” Aku dengan canggung membalas jabatannya.
“Eh…iyakah?
Ternyata kita sejurusan ya. Wih, semoga lain kali ketemu lagi ya dek. Oh ya,
lain kali kalau hari Sabtu ada waktu luang, mampir gih ke masjid. Sering ada
kajian Islam loh.” Eh…nih orang, alimnyaa… Hatiku jadi makin tergerak.
Dia
lalu mengucapkan bye dan meninggalkanku dengan bayang senyumnya yang masih
membuatku berbunga-bunga. Perasaan, aku sering liat orang yang lebih cakep deh,
tapi waktu ketemu dia rasanya beda. Ya. Aku gak pengen pertemuanku dan dia Cuma
disini. Aku ingin bertemu dia lagi. Ah, it’s my first “first sight love” :D
Pertemuan
kami berlanjut di hari pertama ospek. Ternyata dia kakak HMJ yang bagian
kerjanya jadi orang paling nyebelin yang suka sok marah-marah dan doyan
ngebentak-bentak. Aku tertawa dalam hati, pantas saja aku klepek-klepek
dibikinnya, dia orang ormawa ternyata, pantasa saja dia punya semacam kharisma
gitu. Selama ospek itulah, diam-diam dia sring mencuri pandang dan menyapaku
ketika gak banyak orang ngelihat, sepertinya sih biar imagenya sebagai ‘Kakak
tingkat yang kudu dipatuhin’ enggak turun. :D
Dari
sekedar menyapa, komunikasi berlanjut lewat sms dan social media, hingga
akhirnya jalan bersama. Ya Tuhan, berasa mimpi sih… bisa dekat dengan Kak Ferdi
ini.
Saat
kami duduk di bangku taman kota, akhirnya pernyataan yang sama terulang dari
mulutnya.
“Fir,
kayaknya dari awal kita ketemu, awal aku ngeliat kamu, aku sudah suka. Kamu
kayaknya beda. Lain dari yang lain. Kamu diem, lucu, mungil, caramu mbenerin
posisi kacamatamu bikin aku makin terpesona. Kalo kamu gimana?”
“Firda
juga suka Kak Ferdi dari awal.” Malu-malu aku mengucapkannya. Ya. Aku gak bisa
bohong. I love him at the first sight!
Kamipun
akhirnya jadian. Walau cuma bertahan 1 tahun karena Kak Ferdi pengen break dulu
untuk fokus kuliah, tapi itu pengalaman yang sangat berkesan. Bersama orang
yang membuatku lebih dewasa. Bersama orang yang membuat hatiku berdebar-debar
sejak pandangan pertama.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway #NovelSecondChance oleh @NovelAddict_